Thumuh


Akulah keluh

Aku ingin naik ke langit angkasa

Itu adalah bait puisi yang pernah ditulis Iqbal. Beliau menyimbolkan diri sebagai keluh, atau ambisi, obsesi dan dorongan berprestasi (Thumuh) yang setiap saat menyulut api kehendaknya untuk memberi dan mendapatkan karya-karya puncak. Ini bukan obsesi kemahahebatan atau mimpi buruk kemahatahuan. Ia lebih merupakan vitalitas iman yang melahirkan gelombang tenaga jiwa yang dahsyat.

Keluh (thumuh) ternyata bukan hanya milik Iqbal. Manusia-manusia yang oleh Sayyid Quthub disebut Al-Khalidun (abadi), rata-rata memiliki watak ini. Kelihatannya ini menjadi sifat dasar mereka. Ia bagaikan nyala yang tak pernah padam. Tidak juga kelelahan akan sanggup membujuk dan merayu tekad mereka. Tidak juga resiko.

Setiap prestasi yang mereka capai selalu berubah jadi ‘tangga’ yang harus segera dilewati. Mereka tidak mengukur prestasi dari apa yang telah ada lalu membandingkannya denga prestasi orang lain. Tapi mereka melihat prestasi itu dari sudut pandang apa yang seharusnya ada dan sanggup mereka adakan. Tak ada akhir bagi aktivitas mereka selain kematian.

Thumuh mereka adalah burung elang yang terbang dengan kepakan sayap raksasa. Sayap kanannya adalah ‘kerinduan’ yang bertalu-talu terhadap surga Firdaus. Sayap kirinya adalah ‘ketakutan’ terhadap neraka dan adzab Allah yang setiap saat menghantui derap langkahnya.

Nuansa imani telah menyapu habis kecenderungan pada kemalasan, kesenangan, istirahat, dan kesantaian. Langkah kaki mereka adalah cerminan kekhusyuan sepanjang waktu. Mereka begitu menyadari arti kehidupan mereka sebagai peserta paling sadar di alam raya. Waktu bagi mereka, adalah investasi penting bagi akhirat mereka.

Thumuh telah memautkan jiwa mereka dengan titah langit. Sesuatu yang selalu membebaskan mereka dari semua bentuk ketegangan yang mungkin ditimbulkan oleh interaksi kehidupan duniawi. Mereka tidak menginginkan kebesaran dan kemegahan di bumi manusia. Cita mereka sepenuhnya menanam investasi untuk akhirat mereka. Dorongan inilah yang membuat instrumen jiwa mereka begitu mudah disentuh oleh setiap ajakan pada kebaikan.

"Aku memiliki jiwa perindu. Setiap kali ia sampai pada satu tingkat, setiap kali itu pula ia merindukan tingkat yang lebih tinggi. Kini ia telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi, yang tiada lagi tingkat yang lebih tinggi dari itu. Dan kini ia hanya merindukan surga saja,” kata Umar bin Abdul Aziz setelah menjadi khalifah.

Tak ada ruang kosong antara idealism dan realitas. Karena ujung tali keduanya telah tersimpul oleh ikatan thumuh. Thumuh mereka telah menjelma menjadi padang luas. Dan kelelahan niscaya akan lelah mengitari padang luas itu.

Ini salah satu musykil pelik yang menimpa struktur psikologis kepribadian kita kaum muslim. Kehendak (iradah) kita selalu menderita satu dari dua penyakit ini: terlalu lemah atau cepat puas. Kemauan kita sering terlalu lemah dan tidak memiliki daya dorong yang dapat menggerakkan fisik kita. Ini ditandai dengan kecenderungan kuat untuk malas, santai, dan senang pada yang ‘biasa-biasa’ saja. Kadang ada kemauan berbuat. Tapi proses kreatif kita dalam berbuat dan berkarya sering terputus di jalan, karena terlalu cepat puas. Misalnya seorang gembong sekuler di negeri kita yang ketika kumpulan tulisannya dubukukan, ia segera merasa diri telah jadi pemikir. Padahal tulisan-tulisan itu dikumpulkan dengan rentang waktu 15 tahun.

Kedua gejala penyakit yang menimpa kemauan kita ini, adalah dari psikologis masyarakat terbelakang. Ia bukan saja menimpa masyarakat awam, tapi sering juga menimpa cendekiawan, bahkan juga para du’at. Mungkin ada baiknya merenungi kata seorang penyair Arab: Bila jiwa itu besar, raga akan lelah mengikuti kehendaknya.

-Arsitek Peradaban-

Membangun Kisah


Pada saatnya nanti, semoga Allah melapangkan, para remaja dan pemuda dari generasi ini akan menjadi seorang ayah atau seorang ibu. Merasakan kasih sayang yang mungkin sekali sekarang belum dipahami saat jiwa terlena dengan kebebasan dan permainannya terhadap kehidupan; kasih sayang terhadap anak, pewaris darahnya. Dan ketika pertama kali makhluk kecil itu menangis dalam pelukannya, sebuah kedewasaan baru serta merta menyelubunginya, kesadaran akan sebuah tanggung jawab.

Dunia tidak akan dipandang sama lagi, karena saat itu dia tahu bahwa bermainnya harus disudahi demi anaknya. Perasaan ingin melindungi sang anak, membinanya menuju kebahagiaan, menjauhkannya dari bahaya, dan menempatkannya pada wilayah kebaikan pasti dimiliki setiap orang tua. Bahkan seorang penjahat pun menginginkan anaknya menjadi orang baik. Inilah dorongan fitrah sekaligus pembebanan dari Allah melalui lisan Nabi-Nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban “Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dia menjaganya ataukah mengabaikannya, hingga Dia akan menanyakan kepada seseorang tentang keluarga rumahnya.”

Tanggung jawab pendidikan melekat pada setiap orang tua. Rumah adalah lingkungan terkecil, maka seorang ayah atau ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Seorang ibu adalah simbol kasih sayang bagi anaknya. Sedangkan seorang ayah adalah idola pertama anak-anaknya, lebih dari siapapun, kebanggan mereka yang ingin dipamerkan. Maka kisah yang paling disenangi oleh seorang anak, adalah kisah tentang ayahnya atau ibunya.

Jika demikian, adakah kisah yang penuh kebanggaan itu telah disiapkan? Beranganlah wahai para pemuda, adakah kehidupan, tindak tanduk, dan prestasi kita saat ini telah pantas diceritakan kepada anak-anak kita? Ataukah terpaksa semua itu disimpan karena ketakpantasannya.

Bagaimanakah adanya ketika seorang anak melihat ayahnya di masa muda sedang menikmati tarian seronok setengah telanjang? Akan pula hancur berkeping-keping kebanggaan seorang anak ketika melihat ayahnya di masa muda mabuk dan tenggelam dalam asap rokok, padahal dia sendiri melarang anaknya melakukan itu. Dan tidak akan tersisa apapun lagi ketika dia melihat ayahnya di masa muda bermalas-malasan, duduk-duduk berdendang nyanyian sementara adzan berkumandang memanggil-manggil.

Dan bagaimana nanti anak-anak kita ketika ibunya sekarang terbiasa pulang larut sehabis berdua-duaan dengan lelaki yang belum juga menjadi suaminya atau untuk suatu urusan yang tidak jelas. Akan seperti apa pula pakaiannya di masa depan, sedangkan ibunya sekarang berlomba-lomba meminimkan kainnya. Aduhai, kiranya dia melihat orang tuanya hari ini masih terlalu banyak tertawa, bersenda gurau dan bermain-main pada hal yang seharusnya disikapi dengan dewasa.

Membangun kisah adalah membangun pribadi, menempatkan diri menjadi seseorang yang pantas ditiru. Menjadi pahlawan bagi anak-anaknya walaupun dengan sesuatu yang paling kecil hingga dia bercerita: ”Ayahku bukan orang kaya, tapi dia tidak pernah sekalipun mencontek”. Cerita yang tidak berhenti hanya sebagai cerita, namun sekaligus tertanam dalam diri anak sebagai bagian dari pendidikannya. Tidak inginkah kita menjadi orang tua yang memiliki kepantasan memberikan nasihat kepada anak-anak kita sebagaimana Luqman memberikan nasihat kepada anak-anaknya :

”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) sebesar biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, nisacaya Allah akan mendatangkannya. Sesunguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.” (Luqman 16-17)

Sumber: thifal

Pencarian... How??


Hasrat manusia untuk dicintai, dan mencintai. Sebuah keinginan dari dorongan fitrah yang telah dikaruniakan Allah sebagai wujud kasih sayang-Nya. Dilimpahkan sedemikian rupa sehingga ada kalanya dunia seisinya terkalahkan oleh cinta. Orang-orang yang memenuhi hatinya dengan cinta, menjadikan dunia indah dan syahdu oleh romantisme dengan kekasihnya. Jiwa nan berseri, kebahagiaan di setiap raut wajah, dan senyuman yang memenuhi bumi, adalah konsekuensinya.

Berjuta orang telah berusaha mencari cinta sejatinya, semua orang bahkan. Tempat melabuhkan diri, menyandarkan pundaknya dalam kelelahan, dan mengeluhkan resahnya. Seseorang yang setia di sisinya, yang bisa dirindukan ketika tiada, sedangkan hadirnya membawa ketenteraman. Dan ketika manusia bertanya siapa, Allah yang telah menciptakan dengan segala kecenderungannya memberikan jawaban dengan untaian kalimat indah: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.” (Ar-Rum: 21)

Seorang istri adalah belahan jiwa laki-laki, pakaiannya, ladangnya, penyempurna kenikmatannya, dan yang lebih berharga dari segalanya yaitu perhiasannya. ”Sebaik-baik perhiasan adalah istri yang shalilah”, menyejukkan ketika dipandang, menjaga amanah suami dan kehormatan dirinya, penuh cinta dan kasih sayang. Sebuah pribadi yang bahkan menjadikan cemburu bidadari surga.

Setiap orang menginginkannya, namun tidak setiap orang paham bagaimana menemukannya. Pada akhirnya, mereka mencarinya di tempat dan dengan cara yang tidak semestinya, padahal bagaimana mungkin mutiara indah itu berserakan begitu saja di jalanan kumuh nan kotor? Bagaimana mungkin dia ditemukan sedang berjalan-jalan di mal, bioskop, bar, atau diskotik? Dia tentu juga tidak akan ditemui dalam keluyurannya di larut malam atau sorak-soraknya di konser musik dengan memamerkan apa yang seharusnya disimpannya.

Tidak demikian, bahkan semakin indah mutiara, dia akan semakin menyembunyikan dirinya, tak ingin sembarangan dijamah. Hingga menjamin keistimewaan orang yang berhasil menemukannya. Bukankah perhiasan yang terindah tidak akan pernah pantas dimiliki kecuali oleh orang yang indah pula? Kemuliaan hanya pantas bersanding dengan kemuliaan, maka pantas saja sampai Allah berfirman: ”Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat perempuan-perempuan yang keji pula. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik.” (An-Nur: 26)

Sangat mengesankan bahwa suami-isteri dibahasakan dengan kata zaujaani, zauj berarti suami yang berasal dari kata izdiwaj. Apakah izdiwaj itu ? dia bermakna isytibah wat-tawazun yaitu serupa dan seimbang. Maka alangkah dalam bahwa zaujaani berarti dua orang yang serupa dan seimbang. Padahal Allah tiada pernah memandang status keduniaan sebagai ukuran, melainkan Dia melihat kepada kualitas iman. Serupa dan seimbang dalam kualitas iman, kemuliaan dengan kemuliaan, serasi terikat dengan sebuah ikatan nan kuat.

Untuk mendapatkan pasangan yang mulia, seseorang harus berusaha menjadikan dirinya mulia, dalam akhlaq dan ketaatan. Menjaga kehormatan diri, dengan tidak melirik dan melabuhkan cinta pada mutiara-mutiara palsu walaupun bertebaran di sekelilingnya. Agar ketika pada saatnya Allah mendatangkan mutiara terindah itu, dia bisa dicintai dengan cinta yang utuh tak terbagi sia-sia dalam syukur dan bingkai cinta hakiki kepada Allah.

Sumber: thifal

Cerpen #1


Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -