Thumuh


Akulah keluh

Aku ingin naik ke langit angkasa

Itu adalah bait puisi yang pernah ditulis Iqbal. Beliau menyimbolkan diri sebagai keluh, atau ambisi, obsesi dan dorongan berprestasi (Thumuh) yang setiap saat menyulut api kehendaknya untuk memberi dan mendapatkan karya-karya puncak. Ini bukan obsesi kemahahebatan atau mimpi buruk kemahatahuan. Ia lebih merupakan vitalitas iman yang melahirkan gelombang tenaga jiwa yang dahsyat.

Keluh (thumuh) ternyata bukan hanya milik Iqbal. Manusia-manusia yang oleh Sayyid Quthub disebut Al-Khalidun (abadi), rata-rata memiliki watak ini. Kelihatannya ini menjadi sifat dasar mereka. Ia bagaikan nyala yang tak pernah padam. Tidak juga kelelahan akan sanggup membujuk dan merayu tekad mereka. Tidak juga resiko.

Setiap prestasi yang mereka capai selalu berubah jadi ‘tangga’ yang harus segera dilewati. Mereka tidak mengukur prestasi dari apa yang telah ada lalu membandingkannya denga prestasi orang lain. Tapi mereka melihat prestasi itu dari sudut pandang apa yang seharusnya ada dan sanggup mereka adakan. Tak ada akhir bagi aktivitas mereka selain kematian.

Thumuh mereka adalah burung elang yang terbang dengan kepakan sayap raksasa. Sayap kanannya adalah ‘kerinduan’ yang bertalu-talu terhadap surga Firdaus. Sayap kirinya adalah ‘ketakutan’ terhadap neraka dan adzab Allah yang setiap saat menghantui derap langkahnya.

Nuansa imani telah menyapu habis kecenderungan pada kemalasan, kesenangan, istirahat, dan kesantaian. Langkah kaki mereka adalah cerminan kekhusyuan sepanjang waktu. Mereka begitu menyadari arti kehidupan mereka sebagai peserta paling sadar di alam raya. Waktu bagi mereka, adalah investasi penting bagi akhirat mereka.

Thumuh telah memautkan jiwa mereka dengan titah langit. Sesuatu yang selalu membebaskan mereka dari semua bentuk ketegangan yang mungkin ditimbulkan oleh interaksi kehidupan duniawi. Mereka tidak menginginkan kebesaran dan kemegahan di bumi manusia. Cita mereka sepenuhnya menanam investasi untuk akhirat mereka. Dorongan inilah yang membuat instrumen jiwa mereka begitu mudah disentuh oleh setiap ajakan pada kebaikan.

"Aku memiliki jiwa perindu. Setiap kali ia sampai pada satu tingkat, setiap kali itu pula ia merindukan tingkat yang lebih tinggi. Kini ia telah sampai pada tingkat yang lebih tinggi, yang tiada lagi tingkat yang lebih tinggi dari itu. Dan kini ia hanya merindukan surga saja,” kata Umar bin Abdul Aziz setelah menjadi khalifah.

Tak ada ruang kosong antara idealism dan realitas. Karena ujung tali keduanya telah tersimpul oleh ikatan thumuh. Thumuh mereka telah menjelma menjadi padang luas. Dan kelelahan niscaya akan lelah mengitari padang luas itu.

Ini salah satu musykil pelik yang menimpa struktur psikologis kepribadian kita kaum muslim. Kehendak (iradah) kita selalu menderita satu dari dua penyakit ini: terlalu lemah atau cepat puas. Kemauan kita sering terlalu lemah dan tidak memiliki daya dorong yang dapat menggerakkan fisik kita. Ini ditandai dengan kecenderungan kuat untuk malas, santai, dan senang pada yang ‘biasa-biasa’ saja. Kadang ada kemauan berbuat. Tapi proses kreatif kita dalam berbuat dan berkarya sering terputus di jalan, karena terlalu cepat puas. Misalnya seorang gembong sekuler di negeri kita yang ketika kumpulan tulisannya dubukukan, ia segera merasa diri telah jadi pemikir. Padahal tulisan-tulisan itu dikumpulkan dengan rentang waktu 15 tahun.

Kedua gejala penyakit yang menimpa kemauan kita ini, adalah dari psikologis masyarakat terbelakang. Ia bukan saja menimpa masyarakat awam, tapi sering juga menimpa cendekiawan, bahkan juga para du’at. Mungkin ada baiknya merenungi kata seorang penyair Arab: Bila jiwa itu besar, raga akan lelah mengikuti kehendaknya.

-Arsitek Peradaban-

Membangun Kisah


Pada saatnya nanti, semoga Allah melapangkan, para remaja dan pemuda dari generasi ini akan menjadi seorang ayah atau seorang ibu. Merasakan kasih sayang yang mungkin sekali sekarang belum dipahami saat jiwa terlena dengan kebebasan dan permainannya terhadap kehidupan; kasih sayang terhadap anak, pewaris darahnya. Dan ketika pertama kali makhluk kecil itu menangis dalam pelukannya, sebuah kedewasaan baru serta merta menyelubunginya, kesadaran akan sebuah tanggung jawab.

Dunia tidak akan dipandang sama lagi, karena saat itu dia tahu bahwa bermainnya harus disudahi demi anaknya. Perasaan ingin melindungi sang anak, membinanya menuju kebahagiaan, menjauhkannya dari bahaya, dan menempatkannya pada wilayah kebaikan pasti dimiliki setiap orang tua. Bahkan seorang penjahat pun menginginkan anaknya menjadi orang baik. Inilah dorongan fitrah sekaligus pembebanan dari Allah melalui lisan Nabi-Nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban “Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dia menjaganya ataukah mengabaikannya, hingga Dia akan menanyakan kepada seseorang tentang keluarga rumahnya.”

Tanggung jawab pendidikan melekat pada setiap orang tua. Rumah adalah lingkungan terkecil, maka seorang ayah atau ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Seorang ibu adalah simbol kasih sayang bagi anaknya. Sedangkan seorang ayah adalah idola pertama anak-anaknya, lebih dari siapapun, kebanggan mereka yang ingin dipamerkan. Maka kisah yang paling disenangi oleh seorang anak, adalah kisah tentang ayahnya atau ibunya.

Jika demikian, adakah kisah yang penuh kebanggaan itu telah disiapkan? Beranganlah wahai para pemuda, adakah kehidupan, tindak tanduk, dan prestasi kita saat ini telah pantas diceritakan kepada anak-anak kita? Ataukah terpaksa semua itu disimpan karena ketakpantasannya.

Bagaimanakah adanya ketika seorang anak melihat ayahnya di masa muda sedang menikmati tarian seronok setengah telanjang? Akan pula hancur berkeping-keping kebanggaan seorang anak ketika melihat ayahnya di masa muda mabuk dan tenggelam dalam asap rokok, padahal dia sendiri melarang anaknya melakukan itu. Dan tidak akan tersisa apapun lagi ketika dia melihat ayahnya di masa muda bermalas-malasan, duduk-duduk berdendang nyanyian sementara adzan berkumandang memanggil-manggil.

Dan bagaimana nanti anak-anak kita ketika ibunya sekarang terbiasa pulang larut sehabis berdua-duaan dengan lelaki yang belum juga menjadi suaminya atau untuk suatu urusan yang tidak jelas. Akan seperti apa pula pakaiannya di masa depan, sedangkan ibunya sekarang berlomba-lomba meminimkan kainnya. Aduhai, kiranya dia melihat orang tuanya hari ini masih terlalu banyak tertawa, bersenda gurau dan bermain-main pada hal yang seharusnya disikapi dengan dewasa.

Membangun kisah adalah membangun pribadi, menempatkan diri menjadi seseorang yang pantas ditiru. Menjadi pahlawan bagi anak-anaknya walaupun dengan sesuatu yang paling kecil hingga dia bercerita: ”Ayahku bukan orang kaya, tapi dia tidak pernah sekalipun mencontek”. Cerita yang tidak berhenti hanya sebagai cerita, namun sekaligus tertanam dalam diri anak sebagai bagian dari pendidikannya. Tidak inginkah kita menjadi orang tua yang memiliki kepantasan memberikan nasihat kepada anak-anak kita sebagaimana Luqman memberikan nasihat kepada anak-anaknya :

”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) sebesar biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, nisacaya Allah akan mendatangkannya. Sesunguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.” (Luqman 16-17)

Sumber: thifal

Pencarian... How??


Hasrat manusia untuk dicintai, dan mencintai. Sebuah keinginan dari dorongan fitrah yang telah dikaruniakan Allah sebagai wujud kasih sayang-Nya. Dilimpahkan sedemikian rupa sehingga ada kalanya dunia seisinya terkalahkan oleh cinta. Orang-orang yang memenuhi hatinya dengan cinta, menjadikan dunia indah dan syahdu oleh romantisme dengan kekasihnya. Jiwa nan berseri, kebahagiaan di setiap raut wajah, dan senyuman yang memenuhi bumi, adalah konsekuensinya.

Berjuta orang telah berusaha mencari cinta sejatinya, semua orang bahkan. Tempat melabuhkan diri, menyandarkan pundaknya dalam kelelahan, dan mengeluhkan resahnya. Seseorang yang setia di sisinya, yang bisa dirindukan ketika tiada, sedangkan hadirnya membawa ketenteraman. Dan ketika manusia bertanya siapa, Allah yang telah menciptakan dengan segala kecenderungannya memberikan jawaban dengan untaian kalimat indah: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.” (Ar-Rum: 21)

Seorang istri adalah belahan jiwa laki-laki, pakaiannya, ladangnya, penyempurna kenikmatannya, dan yang lebih berharga dari segalanya yaitu perhiasannya. ”Sebaik-baik perhiasan adalah istri yang shalilah”, menyejukkan ketika dipandang, menjaga amanah suami dan kehormatan dirinya, penuh cinta dan kasih sayang. Sebuah pribadi yang bahkan menjadikan cemburu bidadari surga.

Setiap orang menginginkannya, namun tidak setiap orang paham bagaimana menemukannya. Pada akhirnya, mereka mencarinya di tempat dan dengan cara yang tidak semestinya, padahal bagaimana mungkin mutiara indah itu berserakan begitu saja di jalanan kumuh nan kotor? Bagaimana mungkin dia ditemukan sedang berjalan-jalan di mal, bioskop, bar, atau diskotik? Dia tentu juga tidak akan ditemui dalam keluyurannya di larut malam atau sorak-soraknya di konser musik dengan memamerkan apa yang seharusnya disimpannya.

Tidak demikian, bahkan semakin indah mutiara, dia akan semakin menyembunyikan dirinya, tak ingin sembarangan dijamah. Hingga menjamin keistimewaan orang yang berhasil menemukannya. Bukankah perhiasan yang terindah tidak akan pernah pantas dimiliki kecuali oleh orang yang indah pula? Kemuliaan hanya pantas bersanding dengan kemuliaan, maka pantas saja sampai Allah berfirman: ”Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat perempuan-perempuan yang keji pula. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik.” (An-Nur: 26)

Sangat mengesankan bahwa suami-isteri dibahasakan dengan kata zaujaani, zauj berarti suami yang berasal dari kata izdiwaj. Apakah izdiwaj itu ? dia bermakna isytibah wat-tawazun yaitu serupa dan seimbang. Maka alangkah dalam bahwa zaujaani berarti dua orang yang serupa dan seimbang. Padahal Allah tiada pernah memandang status keduniaan sebagai ukuran, melainkan Dia melihat kepada kualitas iman. Serupa dan seimbang dalam kualitas iman, kemuliaan dengan kemuliaan, serasi terikat dengan sebuah ikatan nan kuat.

Untuk mendapatkan pasangan yang mulia, seseorang harus berusaha menjadikan dirinya mulia, dalam akhlaq dan ketaatan. Menjaga kehormatan diri, dengan tidak melirik dan melabuhkan cinta pada mutiara-mutiara palsu walaupun bertebaran di sekelilingnya. Agar ketika pada saatnya Allah mendatangkan mutiara terindah itu, dia bisa dicintai dengan cinta yang utuh tak terbagi sia-sia dalam syukur dan bingkai cinta hakiki kepada Allah.

Sumber: thifal